Jumat, 01 Februari 2019

Dalil Aqli dan Naqli ( Alquran untuk yang Berfikirlah )

Dalil ‘Aqli (Akal) Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli/Nash Yang Shahih

PENJELASAN KAIDAH KEENAM : DALIL AQLI (AKAL) YANG BENAR AKAN SESUAI DENGAN DALIL NAQALI/NASH YANG SHAHIH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Kata ‘Aql dalam bahasa Arab (etimologi) mempunyai beberapa arti,[1] di antaranya : Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara istilah (terminologi): ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:

1. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.

2. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:

وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“…Dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]

Akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla.

Firman-Nya:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan….” [Al-Israa’: 70]

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:

Pertama. Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“…Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” [Shaad: 43]

Kedua. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban hukum) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.[3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”[4]

Ketiga.[5] Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk: 10]

Keempat.[6] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur-ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al-Qur-an) dan lainnya.

Kelima. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah: 170]

Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang berdasarkan pemikiran logika semata.

Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H): “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah (dalil) atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah (dalil) yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.”[9]

Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[10]
Keenam,[11] Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“…Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [Az-Zumar: 17-18]

Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” [Al-Israa’: 85]

Firman Allah Azza wa Jalla :

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” [Thaahaa: 110]

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal menurut Mu’tazilah adalah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan (mengalahkan) dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah (wafat th. 489 H)[12] berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengata-kan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut:[13]

1. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.

2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.

3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.

4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.

5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari’at.

6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.

7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

“Kami tidak akan mengadzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul.” [Al-Israa’: 15]

8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.

9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang Diri-Nya:

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Buruuj: 16]

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil. [14]

PENJELASAN SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP ILMU KALAM

Imam Abu Hanifah (wafat th. 150 H) rahimahullah berkata: “Aku telah menjumpai para ahli Ilmu Kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara’ dan tidak juga taqwa.”[15]

Imam Abu Hanifah rahimahullah juga berkata ketika ditanya tentang pembahasan dalam ilmu kalam dari sosok dan bentuk, ia berkata: “Hendaklah engkau berpegang kepada As-Sunnah dan jalan yang telah ditempuh oleh Salafus Shalih. Jauhi olehmu setiap hal baru, karena ia adalah bid’ah.”[16]

Al-Qadhi Abu Yusuf (wafat th. 182 H) rahimahullah,[17] murid dari Abu Hanifah rahimahullah, berkata kepada Bisyr bin Ghiyats al-Marisi [18] : “Ilmu kalam adalah suatu kebodohan dan bodoh tentang ilmu kalam adalah suatu ilmu. Seseorang, manakala menjadi pemuka agama atau tokoh ilmu kalam, maka ia adalah zindiq atau dicurigai sebagai zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).” Dan juga perkataan beliau: “Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, ia akan menjadi zindiq…”[19]

Imam Ahmad (wafat th. 241 H) rahimahullah berkata: “Pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).”[20]

Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) rahimahullah berkata: “Para ulama dan fuqaha (ahli fiqih) ummat ini dahulu mendiamkan (mengabaikan) ilmu kalam bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka menganggap ilmu kalam itu tidak mampu menyembuhkan seorang yang haus, bahkan dapat menjadikan seorang yang sehat menjadi sakit. Oleh karena itu, mereka tidak memberi perhatian kepadanya dan melarang untuk terlibat di dalamnya.”[21]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullah berkata: “Para ahli fiqih dan ahli hadits yang berada di seluruh kota kaum Muslimin telah sepakat bahwa ahli ilmu kalam adalah ahli bid’ah dan penyeleweng dari kebenaran. Sebagaimana kesepakatan mereka bahwa ahli kalam tidak dianggap tergabung dalam tingkatan para ulama. Yang dikategorikan ulama adalah ahli hadits dan orang-orang yang memahaminya dan mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan keahlian masing-masing dalam mencermati, memisahkan (yang shahih dari yang dha’if) dan memahami hadits.”[22]

Imam Malik bin Anas (wafat th. 179 H) rahimahullah berkata:

لَوْ كَانَ الْكَلاَمُ عِلْمًا لَتَكَلَّمَ فِيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ كَمَا تَكَلَّمُوْا فِي اْلأَحْكَامِ وَالشَّرَائِعِ وَلَكِنَّهُ بَاطِلٌ يَدُلُّ عَلَى بَاطِلٍ.

“Seandainya ilmu kalam adalah ilmu, niscaya para Sahabat dan Tabi’in akan membicarakannya sebagaimana pembicaraan mereka terhadap ilmu-ilmu syari’at, akan tetapi ilmu kalam adalah sebuah kebathilan yang menunjukkan kepada ke-bathilan.”[23]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal (sepatu) dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah serta mengambil ilmu Kalam.’”[24]

Beliau rahimahullah juga menyatakan:[25]

كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَإِلاَّ الْفِقْهَ فِي الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِيْنِ

Segala ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan,
terkecuali ilmu hadits dan fiqh untuk mendalami agama.

Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: “Qoola Haddatsana (telah menyampaikan hadits kepada kami).”

Selainnya itu adalah ‘bisikan syaithan’ belaka.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 40).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 40).
[4]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[5]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
[6]. Ibid, hal. 41.
[7]. Lihat Taariikh Ahlil Hadiits Ta’yiinul Firqah an-Naajiyah wa Annahaa Thaa-ifah Ahlil Hadiits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi (hal. 116).
[8]. Ibid, hal. 116.
[9]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
[10]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[11]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).
[12]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar bin Ahmad at-Taimi as-Sam’ani al-Maruzi (lahir th. 426-489 H), seorang ahli fiqih, imam yang masyhur, mufti Khurasan, seorang Syaikh dari madzhab Syafi’iyyah, dan beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly, cet. Daar ar-Raayah, th. 1411 H, lihat juga Siyar A’laamin Nubalaa’ (XIX/114-119, no. 62).
[13]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, hal. 46.
Catatan: Lebih dari 30 hadits yang berkaitan dengan akal yang biasa digunakan oleh mutakallimin (pengagung akal), namun semuanya palsu. Seperti lafazh:

اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ.

“Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal.”

Hadits ini bathil!! Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengawali kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah dengan lafazh ini. Bahkan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitab Manaarul Muniif fii Shahiih wadh Dha’iif (pada hal. 66, no. 120, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah) mengatakan, “Seluruh hadits tentang akal adalah dusta!!”
[15]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[16]. Ibid, I/75.
[17]. Beliau adalah murid Abu Hanifah yang paling pintar, seorang ahli hadits dan termasuk Qadhi yang masyhur. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (VIII/535-539).
[18]. Ia adalah seorang tokoh ahlul Bid’ah yang sesat, ayahnya seorang Yahudi. Ia mengambil pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan dan berhujjah dengannya. Ia termasuk orang yang menguasai ilmu Kalam.
Qutaibah bin Sa’id berkata: “Bisyr al-Marisi adalah kafir.” Dan Abu Zur’ah ar-Razi berkata: “Bisyr al-Marisi adalah zindiq.” Bisyr mati pada tahun 218 H.
Lihat Miizaanul I’tidaal karya Imam adz-Dzahabi (I/322-323 no. 1214).
[19]. Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 17), tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Ab-dullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[20]. Lihat kitab Talbiis Ibliis (hal. 112).
[21]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[22]. Lihat Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/942).
[23]. Dinukil dari kitab Syarhus Sunnah (I/217) oleh Imam al-Baghawy dan al-Amru bil Ittibaa’ wan Nahyu ‘anil Ibtidaa’ (hal. 70) oleh Imam as-Suyuthi.
[24]. Lihat Ahaadiits fii Dzammil Kalaam wa Ahlih (hal. 99) karya Imam Abul Fadhl al-Maqri’ (wafat th. 454 H), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda‘i; Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih karya Ibnu ‘Abdil Barr (II/941), dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 17-18), takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[25]. Lihat Diiwaan Imaam asy-Syafi’i (hal 388 no. 206), kumpulan dan syarah Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Darul Fikr, th. 1415 H.

Dalil Aqli dan Naqli (Ilmu Allah itu luas)


https://islamqa.info/id/answers/2196110-dalil-naqli-dan-aqli-yang-menyatakan-bahwa-alquran-adalah-kalamullah-bukan-makhlk≻

Akidah

التوحيد≻

Nama-nama dan Sifat-sifat

10 Dalil Naqli dan Aqli Yang Menyatakan Bahwa Al Qur’an Adalah Kalamullah Bukan Makhluk

Pertanyaan

Saya berharap agar anda menjelaskan kepada kami tentang cara bermuamalah dengan syubhat-syubhat pelaku bid’ah, khususnya bid’ahnya pernyataan bahwa al Qur’an adalah makhluk, saya berharap agar anda merinci bagaimana cara menjawab syubhat mereka, disertai dengan penyebutan buku-buku para ulama yang terpercaya yang telah menjelaskan dengan panjang lebar untuk menolak ahli bid’ah dalam masalah ini.

Teks Jawaban

Alhamdulillah

Untuk menjawab bid’ah bertumpu pertama kali pada penguasaan tentang sunnah, penguasaan dasar-dasar aqidah, memposisikan ilmu pada konsep yang benar yang bertumpu pada al Qur’an dan Sunnah.

Hal ini tidak akan sempurna hanya dengan fatwa-fatwa yang terpecah belah, atau dengan bacaan yang tidak sistematis, akan tetapi dengan cara belajar secara sistematis dengan menuntut ilmu untuk mengetahui dasar-dasarnya yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti, menghafal, memahami dan mendapatkannya. Pada saat itulah memungkinkan baginya untuk memahami syubhat, memahami perkataan para ulama, menganalisa kejanggalan yang menyisakan permasalah aqidah yang besar seperti ini.

Kami di sini akan memberikan contoh kecil saja yang memungkinkan untuk dijadikan dasar bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan menolak syubhat bahwa al Qur’an adalah makhluk, dengan singkat dan padat kami nukil dari salah satu penelitian khusus, dengan demikian semoga anda mengetahui sedikit tentang hal-hal yang memungkinkan untuk didiskusikan dalam masalah-masalah akidah, keluasannya, rinciannya dan membutuhkan pembahasan dan penelitian.

Adalah memungkinkan dengan 10 dalil untuk menyatakan Al Qur’an al Karim adalah kalamullah bukan makhluk, dalil-dalil tersebut adalah:

Dalil pertama:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ )الأعراف/ 54.

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al A’raf: 54)

Berhujjah dengan ayat ini dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara menciptakan dan memerintah, keduanya adalah bagian dari sifat-sifat-Nya, menyandarkan keduanya kepada Dzat-Nya. Adapun penciptaan adalah perbuatan-Nya, sedangkan perintah-Nya adalah firman-Nya. Hukum asal dari dua kata yang digabungkan masing-masing mempunyai arti yang berbeda, kecuali jika ada indikasi yang menyatakan tidak demikian, dalam ayat tersebut ada banyak indikasi yang menguatkan adanya perbedaan antara keduanya di antaranya adalah sebagaimana yang akan disebutkan kemudian.

Kedua:

Bahwa penciptaan itu tidak terjadi kecuali dengan perintah, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

( إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ) يس/ 82 .

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia”. (QS. Yaasiin: 82)

Firman Alloh: “Kun !” adalah perintah-Nya, jika dianggap sebagai makhluk pasti ciptaan-Nya tersebut membutuhkan perintah, perintah membutuhkan perintah, dan demikian seterusnya, yang demikian itu bisa dipastikan kebatilannya.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan ayat ini atas Jahmiyah dan Mu’tazilah, beliau berkata:

“Pendapat saya: “Alloh berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia telah membedakan antara penciptaan dan perintah”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal dalam Al Mihnah: 53)

Beliau juga berkata kepada mereka:

“Firman Alloh:

( أتى أمر الله ...) [النحل: 1]

“ Telah pasti datangnya ketetapan Allah”. (QS. An Nahl: 1)

Maka perintah-Nya, firman-Nya dan kekuasaan-Nya bukanlah makhluk, maka janganlah kalian membenturkan sebagian kitabullah dengan sebagian lainnya”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal dalam Al Mihnah: 54)

Beliau juga menyampaikan dalam surat kepada Al Mutawakkil pada saat ditanya tentang masalah al Qur’an:

“Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

( وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ )التوبة/ 6

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At Taubah: 6)

Dia juga berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia (Alloh) telah mengabarkan dengan kata: “penciptaan” kemudian berfirman: “dan perintah”, maka Dia Alloh telah menjelaskan bahwa perintah bukanlah penciptaan”. (Diriwayatkan oleh Sholeh anaknya beliau dalam Al Mihnah: 120-121)

Imam Sufyan bin Uyainah al Hilali al Hafidz, dipercaya dan cerdas yang merupakan guru dari Imam Ahmad telah mendahului beliau dalam berhujjah seperti ini, beliau berkata:

“Alloh –‘Azza wa Jalla- berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Yang dimaksud dengan “Al Kholqu” pada ayat tersebut bahwa Alloh –Tabaraka wa Ta’ala- telah menciptakannya, sedangkan “Al Amru” yaitu Al Qur’an”. (Diriwayatkan oleh Al Aajiri dalam Asy Syari’ah: 80 dengan sanad yang baik)

Dalil kedua:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( الرَّحْمَنُ . عَلَّمَ الْقُرْآنَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ )الرحمن/ 1 – 3 .

“ (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia”. (QS. Ar Rahman: 1-3)

Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara llmu-Nya dan ciptaan-Nya, Al Qur’an adalah ilmu-Nya sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Ilmunya Alloh berbeda dengan makhluk-Nya. Alloh –Ta’ala- berfirman:

( قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ )البقرة/ 120.

“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)

Alloh –Ta’ala- telah menamakan Al Qur’an sebagai ilmu, Nabi telah mendapatkannya dari Tuhannya, Dialah Alloh yang telah mengajarkan kepadanya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ilmu-Nya bukanlah makhluk, jikalau ilmu-Nya makhluk maka Alloh akan bersifat dengan lawan katanya sebelum menciptakan, Maha Tinggi Alloh dan Maha Suci Alloh dari semua hal itu.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan hal itu, beliau sampaikan dalam kisah diskusi beliau dengan Jahmiyyah di majelisnya Al Mu’tashim:

“Abdurrahman Al Qazzaz berkata kepada saya: “Alloh ada sebelum Al Qur’an”. Saya jawab: “Kalau begitu maka Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu..”, dia terdiam. “Kalau dia mengklaim bahwa Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu, maka dia telah berlaku kafir kepada Alloh”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 45)

Dikatakan juga kepada beliau –rahimahullah-:

“Suatu kaum berkata: “Jika seseorang berkata: “kalamullah bukanlah makhluk”. Mereka berkata: “Siapa imam anda dalam masalah ini ?, dari mana ucapanmu bahwa Al Qur’an bukan makhluk ?”

Beliau berkata:

“Hujjahnya adalah firman Alloh –Tabaaraka wa Ta’ala- :

( فمن حاجك فيه من بعد ما جاءك من العلم )

“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)”. (QS. Ali Imron: 61)

Dan tidaklah yang datang kepada beliau kecuali Al Qur’an”.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Al Qur’an bagian dari ilmu Alloh, maka barang siapa yang mengklaim bahwa ilmu Alloh adalah makhluk maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Al Masa’il: 2/153-154)

Dalil yang ketiga:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا )الكهف/ 109.

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al Kahfi: 109)

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ )لقمان/ 27.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman: 27)

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan –dan firman-Nya adalah benar- bahwa kalimat-kalimat-Nya tidak terbatas, kalau saja semua lautan yang telah Dia ciptakan dijadikan tinta untuk menulisnya, dan semua pohon menjadi penanya, maka akan habis tinta semua lautan tersebut, penanya pun akan rusak, sedangkan kalimat-kalimat Alloh belum habis. Penjelasan ini maksudnya adalah tentang keagungan kalam Alloh –Ta’ala- dan kalam tersebut adalah sifat dan ilmu-Nya. Hal ini tentunya tidak bisa dianalogikan dengan kalamnya makhluk yang akan musnah, jika kalam Alloh adalah makhluk maka akan habis sebelum habisnya tinta satu lautan dari semua lautan yang ada; karena Alloh telah menetapkan kerusakan pada semua makhluk tidak pada Dzat dan sifat-Nya.

Dalil Keempat:

Nama-nama Alloh –Ta’ala- di dalam Al Qur’an seperti: (Alloh, Ar Rahman, Ar Rahim, As Samii’, Al ‘Aliim, Al Ghafuur, Al Kariim) dan lainnya dari Asma’ul Husna, semua itu adalah bagian dari kalam-Nya; karena Dia-lah sendiri yang menamakannya dengan nama-nama tersebut, baik secara lafadz maupun maknanya.

Alloh –Ta’ala- telah menyamakan antara bertasbih pada Dzat-Nya dan bertasbih dengan Nama-nama-Nya, Alloh –Ta’ala- berfirman:

 ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ) الأعلى/ 1،

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

Alloh –Ta’ala- juga telah menyamakan antara berdo’a kepada Dzat-Nya dan berdo’a kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا )الأعراف/180

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (QS. Al A’raf: 180)

Demikian juga Alloh –Ta’ala- menyamakan antara berdzikir kepada-Nya dengan berdzikir kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا )الإنسان/25 .

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. (QS. Al Insan: 25)

Tasbih, do’a dan dzikir tersebut jika dilakukan kepada makhluk, maka berarti kufur kepada Alloh.

Jika dikatakan: “Sungguh kalam Alloh –Ta’ala- adalah makhluk”.

Maka berarti nama-nama-Nya termasuk di dalamnya, dan barang siapa yang mengklaim demikian, maka dia telah menjadi kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan; karena hal itu mengandung arti bahwa Alloh –Ta’ala- tidak mempunyai nama-nama tersebut sebelum menciptakan kalam-Nya. Maka juga berarti orang yang bersumpah dengan salah satu dari nama-nama-Nya adalah musyrik; karena dia telah bersumpah kepada makhluk, sedangkan makhluk bukanlah sebagai Al Kholiq (pencipta).

Dengan hujjah inilah sekelompok ulama salaf dan para imam berdalil bahwa Al Qur’an bukanlah makhluk, di antara mereka adalah:

Imam Hujjah Sufyan bin Sa’id ats Tsauri berkata:

“Barang siapa yang berkata: “قل هو الله أحد، الله الصمد  “ adalah makhluk, maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Abdullah dalam As Sunnah: 13 dengan sanad yang baik)

Imam Syafi’i berkata:

“Barang siapa yang bersumpah dengan salah satu nama dari nama-nama Alloh, lalu dia melanggarnya maka wajib membayar kaffarat; karena nama Alloh bukanlah makhluk, dan barang siapa yang bersumpah dengan Ka’bah atau dengan Shofa dan Marwah maka tidak wajib membayar kaffarat; karena dia adalah makhluk, sedangkan nama-Nya bukanlah makhluk”. (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i: 193 dengan sanad yang benar)

Ahmad bin Hambal berkata:

“Nama-nama Alloh yang ada di dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an termasuk ilmu Alloh, barang siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk maka dia menjadi kafir, dan barang siapa yang mengklaim bahwa nama-nama Alloh adalah makhluk maka dia menjadi kafir”. (HR. Sholeh dalam Al Mihnah: 52, 66-67)

Dalil kelima:

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan bahwa Al Qur’an telah diturunkan oleh-Nya dan disandarkan kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ )السجدة/ 2

“Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (QS. As Sajdah: 2)

Dia juga berfirman:

( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) الأنعام/114

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya”. (QS. Al An’am: 114)

Dia juga berfirman:

( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar”. (QS. An Nahl: 102)

Dia (Alloh) tidak menyandarkan sesuatu yang diturunkan kepada Dzat-Nya kecuali kalam-Nya, hal ini menunjukkan adanya kekhususan dari sisi artinya, maka hal itu tidaklah sama dengan turunnya hujan, besi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu Alloh telah mengabarkan bahwa juga diturunkan, akan tetapi tidak menyandarkan kepada Dzat-Nya secara langsung, berbeda dengan kalam (firman) Nya, kalam itu adalah sifat, sedangkan sifat itu tidak disandarkan kecuali kepada yang memilikinya tidak kepada yang lainnya, jika sifat itu adalah makhluk, maka akan berpisah dengan penciptanya dan tidak sah menjadi sifat-Nya; karena Alloh –Ta’ala- tidak membutuhkan makhluknya dan tidak memiliki sedikitpun dari sifat makhluk-Nya.

Dalil yang keenam:

Dari Khoulah bin Hakim As Sulaimiyyah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ ) رواه مسلم (2708).

“Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian berkata: “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari keburukan semua makhluk”, maka tidak akan membahayakannya sesuatu apapun sampai dia beranjak dari tempat singgah tersebut”. (HR. Muslim: 2708)

Jikalau kalimat-kalimat-Nya adalah makhluk, berarti meminta perlindungan kepadanya adalah syirik; karena meminta perlindungan kepada makhluk. Sebagaimana diketahui bahwa meminta perlindungan kepada selain Alloh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah syirik, maka bagaimana mungkin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada umatnya sebuah kesyirikan yang nyata, sedangkan beliau yang membawa ajaran tauhid yang murni ??!.

Maka hal ini menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk.

Nuaim bin Ahmad berkata:

“Tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk, tidak juga dengan ucapan hamba, jin, manusia dan malaikat”.

Al Bukhori berkata setelah itu:

“Dalam hal ini menjadi dalil bahwa kalamullah itu bukan makhluk dan selain dari itu adalah makhluk”. (Baca Kholqu Af’aalil ‘Ibaad: 143)

Dalil ketujuh:

Hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( فضل كلام الله على سائر الكلام كفضل الله على سائر خلقه ) حديث حسن ، أخرجه عثمان الدارمي في " الرد على الجهمية " رقم : (287، 340) ، واللالكائي رقم : (557).

“Keutamaan firman Alloh atas semua jenis ucapan sama halnya dengan keutamaan Alloh atas semua makhluk-Nya”. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Utsman Ad Darimi dalam Ar Raddu ‘alal Jahmiyyah: 287 dan 340 dan Al Lalika’i: 557)

Hadits ini mengandung penguatan akidah salaf bahwa Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, hal itu bisa dilihat dari dua sisi:

1.Adanya perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya. Kalam itu bisa berupa kalamullah yang merupakan sifat-Nya atau kalamnya makhluk yang diciptakan oleh Alloh, maka yang menjadi sifat Alloh disandarkan kepada-Nya, dan selain kalamullah disandarkan secara umum; agar mencakup semua kalam yang disandarkan kepada selain Alloh, jikalau semuanya dianggap makhluk maka tidak dibutuhkan lagi adanya perbedaan antara keduanya.

2.Menjadikan perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya, seperti halnya perbedaan antara Dzat-Nya dengan dzat lainnya, maka kalam dan sifat-Nya dijadikan sesuai dengan Dzat dan dan sifat-Nya. Sebagaimana kalam dan sifat makhluk sesuai dengan dzat dan sifatnya.

Imam Utsman bin Sa’id ad Darimi telah berhujjah dengan pernyataan di atas di dalam “Ar Raddu ‘Alal Jahmiyyah”: 162-163, setelah menyebutkan beberapa hadits dalam masalah ini beliau berkata:

“Beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa Al Qur’an itu bukanlah makhluk; karena tidak satu pun dari para makhluk mempunyai tingkatan keutamaan antara keduanya, sebagaimana tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya; karena keutamaan antara sesama makhluk bisa diketahui dan terukur. Namun tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya tidak bisa diukur, tidak satu pun yang mampu menghitungnya, demikian juga tingkatan keutamaan antara kalamullah dengan kalam para makhluk, jika kalamullah dianggap makhluk maka tidak perlu dibedakan keutamaan kalamullah dengan kalam yang lain, sebagaimana keutamaan Alloh atas makhluk-Nya, tidak juga seperti puluhan jilid dengan ribuan jilid, tidak sama juga dengan pemahaman yang dekat yang bisa difahami, karena tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, maka tidaklah serupa kalam-Nya dengan kalam lainnya dan tidak akan didatangkan yang serupa dengannya selamanya”.

Dalil ke delapan:

Termasuk dalil aqli yang nampak jelas adalah bahwa jika kalamullah dianggap makhluk, maka tidak keluar dari salah satu dari dua hal berikut ini:

1.Menjadi makhluk setara dengan Dzat Alloh

2.Menjadi terpisah dan berbeda dengan Dzat-Nya

Kedua kemungkinan tersebut adalah batil, bahkan jelas-jelas termasuk kufur.

Adapun yang pertama, maka hal itu berarti adanya penyatuan antara makhluk dengan penciptanya, maka hal ini batil menurut ahlus sunnah dan menurut sebagian besar ahli bid’ah; karena Alloh tidak membutuhkan makhluk-Nya dari segala sisi.

Sedangkan yang kedua, maka hal itu berarti meniadakan sifat kalam bagi Alloh –Ta’ala-, karena sifat itu melekat dengan yang disifati –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya- tidak bisa melekat kepada yang lainnya, jika sifat itu melekat kepada dzat lain maka ia akan menjadi sifatnya, maka dalam hal ini berarti Alloh dianggap tidak berbicara, yang demikian tentunya bentuk kekufuran yang nyata, sebagaimana yang kami jelaskan pernyataan tersebut.

Dalil yang kesembilan:

Saya mengetahui bahwa sifat itu tidak berdiri sendiri, jika sifat tersebut kepunyaan Sang Pencipta maka melekat dengan-Nya, jika sifat itu kepunyaan makhluk maka ia pun melekat denganya, maka pergerakan, diam, berdiri, duduk, kemampuan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya dari semua sifat, jika disandarkan kepada sesuatu maka menjadi sifat sesuatu tersebut, ia selalu mengikuti dan melekat dengannya. Semua sifat tersebut jika disandarkan kepada makhluk maka menjadi sifatnya, dan jika sebagiannya disandarkan kepada Sang Pencipta seperti kekuasaan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya, maka akan menjadi sifat-Nya karena disandarkan kepada-Nya. Jika disandarkan kepada makhluk maka ia termasuk makhluk, dan jika disandarkan kepada Sang Pencipta maka ia bukan makhluk.

Sifat kemampuan berbicara sama halnya dengan sifat-sifat yang lainnya, harus berada pada tempat tertentu, jika sifat tersebut berada di tempat tertentu maka ia menjadi sifat dari tempat tersebut, tidak menjadi sifat bagi selainnya. Jika sifat tersebut disandarkan kepada Sang Pencipta (Alloh) maka ia menjadi sifat-Nya, namun jika disandarkan kepada selain-Nya maka ia menjadi sifat dzat lain tersebut. Sifatnya Sang Pencipta bukanlah makhluk sebagaimana Dzat-Nya, sedangkan sifatnya makhluk juga berupa makhluk seperti halnya dirinya.

Ketika Alloh telah menyandarkan kalam kepada diri-Nya, maka kalam-Nya bukanlah makhluk; karena ia mengikuti Dzat-Nya, Dzat-Nya Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk, membicarakan kalam yang berupa sifat menjadi bagian dari kalam dalam bentuk dzat.

Jika dikatakan bahwa kalam itu makhluk.

Maka pendapat kami:

“Jadi Maha Suci Alloh dari mempunyai sifat yang berupa makhluk, kalian mengklaim telah mensucikan Alloh dari kesamaan-Nya dengan makhluk, sesuai dengan pendapat kalian tersebut, berarti kalian harus tidak menyandarkan kalam kepada-Nya, (jika tetap menyandarkannya) maka berarti anda mendustakan pendengaran dan akal yang menyaksikan bahwa Alloh mempunyai sifat kalam.

Akan tetapi mereka enggan untuk mengakui bahwa kalamullah bukanlah makhluk dengan bertumpu pada kebatilan sebelumnya mereka berkata:

“Kami menetapkan bahwa Alloh Maha Berbicara dengan kalam yang berdiri sendiri pada yang lainnya, Alloh –Ta’ala- berbicara kepada Musa dengan kalam yang diciptakan pada pohon, tidak langsung dari-Nya, karena kami mensucikan-Nya dari menyamakan-Nya dengan makhluk”.

Pendapat kami:

“Kalian telah menjadikan kalam menjadi sifat pada tempat tertentu yang memilikinya, maka pendapat kalian tersebut mengharuskan untuk dikatakan sebagai kalamnya pohon, karena berarti pohon itulah yang berbicara kepada Musa:

( يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ )،

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh, Tuhan semesta Alam”.

Kalau demikian maka menjadi tidak ada perbedaan antara ucapan pohon dan ucapan Fir’aun yang terlaknat:

( أنا ربكم الأعلى )

“Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”.

Karena ucapan pohon menjadi sifatnya, bukan sifat Alloh. Sedangkan ucapan Fir’aun adalah sifatnya, keduanya menyatakan sebagai Rabb (Tuhan). Maka Musa menjadi tidak benar jika mengingkari ucapan Fir’aun dan menerima ucapan sebuah pohon !!?

Maka Fikirkanlah dengan baik –semoga Alloh merahmati anda- tentang kekufuran yang nyata ini yang menjerumuskan pelakunya kepada bid’ah yang tercela, dan mereka tidak ridho dan menerima hakikat sesuai dengan yang diturunkan (melalui Al Qur’an). Mereka mengganti wahyu yang mulia dengan ide-ide murahan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Dalil aqli ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad –rahimahullah- kepada Jahmiyyah dan Mu’tazilah ketika berdiskusi dengan mereka di hadapan Al Mu’tashim, beliau berkata:

“Kisah Nabi Musa ini, Alloh sendiri yang berfirman di dalam kitab-Nya:

( وكلم الله موسى )

“Dan Alloh telah berbicara kepada Musa”.

Maka Alloh telah menetapkan berbicara kepada Musa sebagai bentuk kemuliaan dari-Nya kepada Musa, kemudian setelah itu Dia Alloh lanjutkan dengan kata:

( تكليما )

sebagai penguat dari ucapan tersebut.

Alloh –Ta’ala- berfirman:

يا موسى ( إنني أنا الله لا إله إلا أنا )

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Aku”.

Kalian mengingkari ini, maka berarti huruf: “Yaa” kembali kepada selain Alloh ?, maka bagaimana seorang makhluk mengklaim sebagai Tuhan !!?, ketahuilah bahwa (yang berbicara itu adalah) Alloh –‘Azza wa Jalla- sendiri”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 52)

Dalil yang kesepuluh:

Termasuk di antara ucapan para ulama salaf dalam menetapkan aqidah ini:

Amr bin Dinar –salah satu Imam generasi Tabi’in- berkata:

“Saya hidup bersama para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan genarasi setelahnya sejak 70 tahun yang lalu, mereka mengatakan: “Alloh adalah Sang Pencipta, dan yang lain adalah makhluk. Al Qur’an adalah kalamullah yang berasal dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali”.

Abdullah bin Nafi’ berkata: “Malik pernah berkata: “Al Qur’an adalah kalamullah, dan sangat tercela pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”. (Diriwayatkan oleh Sholeh bin Ahmad dalam Al Mihnah: 66 dengan sanad yang shahih)

Rabi’ bin Sulaiman sahabat Imam Syafi’i dan muridnya berkata saat menceritakan diskusi antara beliau dengan Hafsh Al Fard dalam Al Qur’an:

“Maka Imam Syafi’i bertanya, Imam Syafi’i menyampaikan hujjahnya, diskusi yang panjang, maka Imam Syafi’i berhujjah bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dan mengkafirkan Hafsh Al Fard. Ar Rabii’ berkata: “Saya bertemu dengan Hafsh Al Fard setelah majelis tersebut dan mengatakan: “Imam Syafi’i ingin membunuh saya”. (Diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abi Hatim dalam Aadab Asy Syafi’i: 194-195 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Abi Hatim berkata:

“Saya telah bertanya kepada bapak saya dan kepada Abu Zar’ah tentang madzhab-madzhab Ahlus Sunnah dalam masalah ushuluddin dan para tokoh ulama yang beliau berdua ketahui dan yang menjadi keyakinan beliau berdua ?

Beliau berdua menjawab:

“Kami telah mengetahui para tokoh ulama di semua kota di daerah Hijaz, Irak, Syam dan Yaman, maka di antara madzhab mereka bahwa iman itu ucapan dan perbuatan bisa bertambah dan berkurang dan Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dari semua sisinya”. (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam As Sunnah: 1/176 dengan sanad yang shahih)

Imam Abu Qosim Hibatullah bin Hasan Ath Thabari Al Lalika’i dalam karyanya yang besar “Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah merumuskan:

“Pendapat mengenai hal itu terhitung sebanyak 550 ulamanya umat dan generasi salafnya, semua mereka berkata: “Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir”.

Beliau –rahimahullah- berkata:

“Mereka yang berjumlah 550 ulama atau lebih tersebut berasal dari kalangan tabi’iin, pengikut tabi’iin, para imam tidak termasuk para sahabat, pada masa yang berbeda, setelah bertahun-tahun berlalu, di antara mereka juga ada 100 para imam yang menjadi rujukan umat, mereka menjalankan agamanya dengan madzhab mereka. Dan jika anda sibuk menukil dari perkataan ahli hadits maka nama-nama yang muncul akan mencapai ribuan”. (As Sunnah: 493)

Secara ringkas dan dengan sedikit perubahan di salin dari buku “Al Aqidah As Salafiyah fii Kalam Rabbil Bariyyah wa Kasyfu Abathiil Al Mubtadi’ah Ar Raddiyah: 121-147.

Untuk pendalaman materi maka baca juga jilid 12 dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: “Al Qur’an Kalamullah” dan “Mukhtashor Ash Showa’iq Al Mursalah” karya Ibnu Qayyim.

Baca juga makalah yang bermanfaat untuk dibaca dalam masalah ini dengan judul: “Lima Kaana Al Qoulu bikholqil Qur’an Kufran ? wal Kalam An Nafsi ? karya Syeikh Amr Basyuni pada link berikut ini: http://taseel.com/display/pub/default.aspx?id=3300&mot=1

Wallahu A’lam.