Minggu, 13 Oktober 2019

DOSA YANG TERBESAR

DOSA BESAR YANG PALING BESAR

 Oleh : H.Abdul Hadi BIN H.Abdul Qohar


عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ -ثَلَاثًا- قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ  يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Hârits Radhiyallahu anhu , ia berkata : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yangpaling besar?” –Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tiga kali–. Kami (para Shahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh dan durhaka kepada kedua orang tua.”Awalnya Beliau bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.” Nabi selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau diam.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 2654, 5976, 6273, 6274, 6919) dan dalam al-Adabul Mufrad (no. 15); Muslim (no. 87); Ahmad (V/36, 37, 38); At-Tirmidzi (no. 1901, 2301, 3019) dan dalam asy-Syamâ`il Muhammadiyyah (no. 131); Al-Bazzar (no. 3630); dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/121).

 KOSA KATA HADITS.

قَوْلُ الزُّوْرِ : Berkata bohong.

شَهَادَةُ الزُّوْرِ : Bersaksi dengan saksi palsu dan kebohongan.

SYARAH HADITS
Hadits ini menjelaskan tentang dosa-dosa besar yang paling besar, di antaranya; syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua dan berkata bohong serta saksi palsu.

Pertama : Perbuatan Syirik
Syirik kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar. Syirik merupakan kezhaliman terbesar, dosa besar yang tidak diampuni oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu, kita harus menjauhi dan menjaga diri serta keluarga agar tidak terjatuh dalam perbuatan syirik. Mengetahui dan memahami tentang syirik dan berbagai macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhinya.

Syirik adalah menyamakan selain Allâh Azza wa Jalla dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalamRubûbiyyah dan Ulûhiyyah serta Asmâ dan Sifat-Nya.[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalamRubûbiyyah, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allâh yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

Katakanlah (Muhammad): ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allâh! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’”​[Saba’/34:22]

Kedua,syirik dalam ulûhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allâh, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah.”[2]

Umumnya yang dilakukan orang adalah menyekutukan dalamuluhiyyah Allâh, yaitu dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allâh, seperti berdo’a kepada selain Allâh di samping berdo’a kepada Allâh, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.

Oleh karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allâh berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqmân/31:13]

Syirik (menyekutukan Allâh) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia menyamakan makhluk dengan al-Khâliq (Pencipta) dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allâh dengan sesuatu, maka ia telah menyamakan sesuatu itu dengan Allâh dan ini sebesar-besar kezhaliman. Perbuatan zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[3]

Diantara contoh perbuatan syirik adalah beribadah kepada selain Allâh atau (berdo’a) kepada orang yang sudah mati, baik itu Nabi, wali, maupun yang lainnya.

Berdo’a (memohon) kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berdo’a meminta suatu hajat,isti’ânah (minta tolong),istighâtsah (minta tolong di saat sulit), meminta rezeki, kesembuhan dan lain-lain kepada orang mati, baik itu kepada Nabi, wali, habib, kyai, jin maupun kuburan keramat atau kepada pohon dan lainnya selain Allâh adalah syirik akbar (syirik besar).

Istighâtsah[4] atau berdo’a kepada selain Allâh adalah syirik besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ ﴿١٠٦﴾ وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan janganlah engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allâh, sebab jika engkau lakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zhalim. Dan jika Allâh menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allâh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Yûnus/10:106-107]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allâh itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu dari Allâh, dan beribadahlah kepada-Nya dan bersyukurlah kepada-Nya. [Al-‘Ankabût/29: 17]

Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain:

Meminta maslahat atau dijauhkan dari mudharat(bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka.

Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin.

Mempercayai jimat, tongkat, keris, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya.

Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata, “Barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allâh, maka ia musyrik kafir.”[5]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain selain Allâh, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Rabbnya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”​[Al-Mu’minûn/23:117]​[6]

Akibat orang yang berbuat syirik yaitu:

Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala di atas (An-Nisaa’: 116)

Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.

Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk masuk surga, sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Mâidah ayat ke-72

Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal kebajikan yang pernah dia lakukan, sebagaiman firman Allâh dalam Surat al-An’âm ayat ke-88

Kedua : Berbuat Durhaka Kepada Orang Tua
Kemudian dosa besar yang paling besar yang kedua adalah uqûqulwâlidain (durhaka kepada kedua orang tua). Dalam hadits lain, Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa di antara dosa-dosa besar yaitu menyekutukan Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri, dan sumpah palsu.[7]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu jangan-lah kamu beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di dalam pemeliharaan-mu maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya.Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang baik. [Al-Isrâ’/17:23]

Juga firman-Nya,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ﴿١٤﴾ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu, maka Aku beritahukan kepada-mu apa yang telah kamu kerjakan.”​[Luqmân/31:14-15]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتٍ وَوَأْدَالْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،وَإِضَاعَةَ الْمَالِ.

Sesungguhnya Allâh mengharamkan atas kaliandurhaka kepada ibu, menolak kewajiban, minta sesuatu yang bukan haknya, mengubur anak hidup-hidup.Dan Allâh membenci atas kalian banyak bicara, banyak bertanya, memboroskan harta(menghambur-hamburkanharta).[8]

Hadits ini adalah salah satu hadits yang melarang berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Seorang anak yang berbuat durhaka tidak akan masuk surga, sebagaimana hadits dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu bahwa Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْـجَنَّـةَ عَاقٌّ وَلَا مُدْمِنُ خَـمْرٍ وَلَا مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ.

Tidak masuk surga anak yang durhaka, pecandu khamr (minuman keras), dan orang yang mendustakan takdir.[9]

Di antara bentuk durhaka (‘uquq) adalah:

Menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan orang tua, baik dengan perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.

Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang

Membentak atau menghardik orang tua.

Melaknat dan mencaci kedua orang tua, secara langsung atau tidak langsung.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorangterhadap kedua orang tuanya.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, Apakah ada orang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ya, ia mencaci ayah orang lain, maka orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain,maka orang itu akan mencaci ibunya.”[10]

Bakhil (pelit), tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat mem Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.

Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain.

Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika ‘si Ibu’ melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.

Menyebutkan kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.

Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, menghisap rokok, dll.

Lebih taat kepada istri daripada kepada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya,na’udzubillaah.

Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam berkata dan berbuat kepada orang tua kita.

Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia oleh anak yang durhaka. Dari Shahabat Abu Bakrah Radhiyallahu anhu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِـي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِـي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِوَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ .

Tidak ada dosa yang Allâh cepatkan adzabnya kepadapelakunya di dunia ini di samping adzab yang telah disediakannya di akhirat daripada berlaku zhalim dan memutuskan silaturahim.[11]

Dalam hadits lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَابَانِ مُعَجَّلَانِ عُقُوْبَتُهُمَا فِـي الدُّنْيَا: اَلْبَغْيُ وَالْعُقُوْقُ.

Dua perbuatan dosa yang Allâh cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia: berbuat zhalim dan al-‘uquq (durhaka kepada orang tua).[12]

Keridhaan orang tua harus kita dahulukan daripada keridhaan istri dan anak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa anak yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak akan masuk surga dan Allâh Azza wa Jalla tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.

Ketiga: Berdusta
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dosa besar yang paling besar yang ketiga, yaitu sabda Nabi, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.”

Dusta atau bohong merupakan dosa besar karena dusta adalah keburukan dan kejahatan. Dusta tidak ada manfaatnya, bahkan merusak agama dan kepribadian seorang Muslim. Dusta menunjukkan rendahnya kepribadian seseorang dan kehinaan dirinya. Dusta selalu memutarbalikkan fakta, yang tidak ada seolah-olah ada, yang haq dikatakan batil, yang batil dikatakan benar, yang baik dikatakan jelek, yang jelek jadi baik, dan lainnya. Dusta membohongi diri sendiri dan orang lain. Dusta merupakan sifat orang munafik dan membawa kepada kejahatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyebutkan ciri-ciri orang munafik, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia menyelisihinya, dan  jika diberi amanah ia khianat.[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ،فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَايَزَال ُالرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّابًا

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).[14]

Zaman sekarang ini, banyak orang yang begitu mudah berkata dusta dan bersaksi palsu, ia menyangka bahwa dirinya telah berbuat baik kepada orang yang dia bela, tetapi tidak, sebaliknya dia telah berbuat buruk kepada dirinya, kepada orang yang dia bela, dan orang yang dituduh.

Adapun keburukan terhadap dirinya yaitu dia telah berbuat dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-Perbuatan buruk kepada orang yang dia bela yaitu karena dia menimpakan persaksian kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Sedangkan perbuatan buruk kepada orang yang dituduhnya, maka sudah jelas, dia telah berbuat zhalim dan melampaui batas terhadapnya.Karena inilah, persaksian palsu merupakan dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-.

Janganlah engkau menyangka telah berbuat baik jika engkau bersaksi untuk seseorang dengan saksi palsu. Demi Allâh, engkau hanya berbuat buruk kepadanya. Sayangnya, zaman sekarang ini banyak sekali orang-orang yang bersaksi di pengadilan bahwa si fulan yang berhak, padahal dia berdusta, dan menggunakan nama-nama yang tidak benar. Tujuannya mereka adalah dunia, tetapi akhirnya mereka rugi di dunia dan di akhirat, wal ‘iyâdzu billâh.

Maka wajib bagi orang yang berakal agar berhati-hati dari empat perkara ini, yaitu: Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, berkata bohong, dan bersaksi palsu.[15]

FAWAA-ID:

Dosa itu bervariasi tingkatannya, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkannya.

Dosa-dosa besar banyak sekali disebutkan dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahih.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini tentang dosa-dosa besar yang paling besar.

Dosa terbagi menjadi dosa besar yang paling besar, dosa-dosa besar, dan dosa kecil.

Dosa yang paling besar adalah syirik (menyekutukan Allâh dengan makhluk-Nya). Syirik adalah kezhaliman yang paling besar.

Ancaman yang keras terhadap perbuatan syirik, durhaka kepada kedua orang tua, berbohong, dan sumpah palsu.

Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang dosa-dosa besar ini agar manusia berhati-hati, jangan sampai melakukan dosa-dosa tersebut.

Tiga dosar yang paling besar ini bila dilakukan oleh manusia, maka akan membawa malapetaka yang besar di dunia dan akhirat.

Kecintaan para shahabat kepada Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada diri mereka ada (sikap) rasa takut seorang murid kepada gurunya jika dia melihat gurunya tidak berkenan dan dia berharap agar gurunya itu tidak marah.

Disunnahkan untuk mengulang-ulang ucapan dan nasehat sampai tiga kali agar dapat difahami.

Disunnahkan untuk bersikap serius bagi pemberi nasehat dalam menyampaikan nasehatnya atau penceramah dalam menyampaikan ceramahnya, agar hal itu bisa lebih menyentuh kesadaran dan tepat untuk mencegah perbuatan yang dilarang.

Dibolehkan bagi seorang guru atau pengajar untuk memulai mengajukan pertanyaan kepada anak didiknya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sayang kepada ummatnya dengan menjelaskan perkara-perkara yang haram dan dosa-dosa besar yang paling besar, agar manusia menjauhkan dosa-dosa tersebut.

MARAAJI’:

Kutubussittah

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Adabul Mufrad, Imam al-Bukhâ

Sunan al-Baihaqi.

Ad-Dâ` wad Dawâ`, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiqSyaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.

Iqtidhâ`us Shirâthil Mustaqîm,Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Al-Ushûl ats-Tsalâtsah, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.

Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.

Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Prinsip Dasar Islam, cet. XIII, Pustaka at-Taqwa.

Do’a dan Wirid, cet. XXVI, Pustaka Imam asy-Syafi’i.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Lihat ad-Dâ’ wad Dawâ’ (hlm. 198) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[2] Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm(II/226) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]  Lihat ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 74) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan.
[4] Istighâtsah adalah meminta pertolongan kepada Allâh ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.
[5]  Ushûluts Tsalâtsah, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
[6]  Lihat buku Do’a dan Wirid (hlm. 115-116) oleh Penulis, cet. XXVI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta, th. 2014M.
[7] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6675) dan Muslim (no. 88 [144]).
[8] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5975) dan Muslim (no. 1715 (12)).
[9] Hasan: HR. Ahmad (VI/441) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 675).
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri (5973) dan Muslim (no. 90 (146)). Ini lafazh Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma
[11] Shahih: HR. Al-Bukhâri dalamAl-Adabul Mufrad (Shahîh al-Adabul Mufrad(no. 23)), Abu Dawud (no. 4902), at-Tirmidzi (no. 2511), Ibnu Majah (no. 4211), Ahmad (V/36, 38), al-Hâkim (II/356 dan IV/162-163). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih,” al-Hakim berkata, “Shahih sanadnya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[12] Shahih: HR. Al-Hâkim (IV/177) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1120).
[13] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 33) dan Muslim (no. 59 (107)).
[14] Ahmad (I/384), Al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386), Muslim (no. 2607 (105)), Abu Dawud (no. 4989), At-Tirmidzi (no. 1971), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf(VIII/424-425, no. 25991), Ibnu Hibban (no. 272-273-​at-Ta’l​î​q​â​tul Hisaan), Al-Baihaqi (X/196),Al-Baghawi (no. 3574) dari Abdullah bin Mas’ud I. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[15] Syarh Riyâdhish Shâlihîn,Syaikh al-‘Utsaimin (III/207).

3 DOSA LEBIH BESAR DARIPADA ZINA

DOSA-DOSA BESAR YANG PALING BESAR

 Oleh : H.Abdul Hadi BIN H.Abdul Qohar

عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ -ثَلَاثًا- قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ  يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Hârits Radhiyallahu anhu , ia berkata : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yangpaling besar?” –Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tiga kali–. Kami (para Shahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh dan durhaka kepada kedua orang tua.”Awalnya Beliau bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.” Nabi selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau diam.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 2654, 5976, 6273, 6274, 6919) dan dalam al-Adabul Mufrad (no. 15); Muslim (no. 87); Ahmad (V/36, 37, 38); At-Tirmidzi (no. 1901, 2301, 3019) dan dalam asy-Syamâ`il Muhammadiyyah (no. 131); Al-Bazzar (no. 3630); dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/121).

 KOSA KATA HADITS.

قَوْلُ الزُّوْرِ : Berkata bohong.

شَهَادَةُ الزُّوْرِ : Bersaksi dengan saksi palsu dan kebohongan.

SYARAH HADITS
Hadits ini menjelaskan tentang dosa-dosa besar yang paling besar, di antaranya; syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua dan berkata bohong serta saksi palsu.

Pertama : Perbuatan Syirik
Syirik kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar. Syirik merupakan kezhaliman terbesar, dosa besar yang tidak diampuni oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu, kita harus menjauhi dan menjaga diri serta keluarga agar tidak terjatuh dalam perbuatan syirik. Mengetahui dan memahami tentang syirik dan berbagai macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhinya.

Syirik adalah menyamakan selain Allâh Azza wa Jalla dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalamRubûbiyyah dan Ulûhiyyah serta Asmâ dan Sifat-Nya.[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalamRubûbiyyah, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allâh yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

Katakanlah (Muhammad): ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allâh! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’”​[Saba’/34:22]

Kedua,syirik dalam ulûhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allâh, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah.”[2]

Umumnya yang dilakukan orang adalah menyekutukan dalamuluhiyyah Allâh, yaitu dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allâh, seperti berdo’a kepada selain Allâh di samping berdo’a kepada Allâh, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.

Oleh karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allâh berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqmân/31:13]

Syirik (menyekutukan Allâh) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia menyamakan makhluk dengan al-Khâliq (Pencipta) dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allâh dengan sesuatu, maka ia telah menyamakan sesuatu itu dengan Allâh dan ini sebesar-besar kezhaliman. Perbuatan zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[3]

Diantara contoh perbuatan syirik adalah beribadah kepada selain Allâh atau (berdo’a) kepada orang yang sudah mati, baik itu Nabi, wali, maupun yang lainnya.

Berdo’a (memohon) kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berdo’a meminta suatu hajat,isti’ânah (minta tolong),istighâtsah (minta tolong di saat sulit), meminta rezeki, kesembuhan dan lain-lain kepada orang mati, baik itu kepada Nabi, wali, habib, kyai, jin maupun kuburan keramat atau kepada pohon dan lainnya selain Allâh adalah syirik akbar (syirik besar).

Istighâtsah[4] atau berdo’a kepada selain Allâh adalah syirik besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ ﴿١٠٦﴾ وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan janganlah engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allâh, sebab jika engkau lakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zhalim. Dan jika Allâh menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allâh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Yûnus/10:106-107]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allâh itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu dari Allâh, dan beribadahlah kepada-Nya dan bersyukurlah kepada-Nya. [Al-‘Ankabût/29: 17]

Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain:

Meminta maslahat atau dijauhkan dari mudharat(bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka.

Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin.

Mempercayai jimat, tongkat, keris, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya.

Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata, “Barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allâh, maka ia musyrik kafir.”[5]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain selain Allâh, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Rabbnya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”​[Al-Mu’minûn/23:117]​[6]

Akibat orang yang berbuat syirik yaitu:

Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala di atas (An-Nisaa’: 116)

Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.

Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk masuk surga, sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Mâidah ayat ke-72

Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal kebajikan yang pernah dia lakukan, sebagaiman firman Allâh dalam Surat al-An’âm ayat ke-88

Kedua : Berbuat Durhaka Kepada Orang Tua
Kemudian dosa besar yang paling besar yang kedua adalah uqûqulwâlidain (durhaka kepada kedua orang tua). Dalam hadits lain, Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa di antara dosa-dosa besar yaitu menyekutukan Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri, dan sumpah palsu.[7]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu jangan-lah kamu beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di dalam pemeliharaan-mu maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya.Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang baik. [Al-Isrâ’/17:23]

Juga firman-Nya,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ﴿١٤﴾ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu, maka Aku beritahukan kepada-mu apa yang telah kamu kerjakan.”​[Luqmân/31:14-15]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتٍ وَوَأْدَالْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،وَإِضَاعَةَ الْمَالِ.

Sesungguhnya Allâh mengharamkan atas kaliandurhaka kepada ibu, menolak kewajiban, minta sesuatu yang bukan haknya, mengubur anak hidup-hidup.Dan Allâh membenci atas kalian banyak bicara, banyak bertanya, memboroskan harta(menghambur-hamburkanharta).[8]

Hadits ini adalah salah satu hadits yang melarang berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Seorang anak yang berbuat durhaka tidak akan masuk surga, sebagaimana hadits dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu bahwa Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْـجَنَّـةَ عَاقٌّ وَلَا مُدْمِنُ خَـمْرٍ وَلَا مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ.

Tidak masuk surga anak yang durhaka, pecandu khamr (minuman keras), dan orang yang mendustakan takdir.[9]

Di antara bentuk durhaka (‘uquq) adalah:

Menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan orang tua, baik dengan perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.

Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang

Membentak atau menghardik orang tua.

Melaknat dan mencaci kedua orang tua, secara langsung atau tidak langsung.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorangterhadap kedua orang tuanya.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, Apakah ada orang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ya, ia mencaci ayah orang lain, maka orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain,maka orang itu akan mencaci ibunya.”[10]

Bakhil (pelit), tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat mem Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.

Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain.

Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika ‘si Ibu’ melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.

Menyebutkan kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.

Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, menghisap rokok, dll.

Lebih taat kepada istri daripada kepada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya,na’udzubillaah.

Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam berkata dan berbuat kepada orang tua kita.

Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia oleh anak yang durhaka. Dari Shahabat Abu Bakrah Radhiyallahu anhu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِـي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِـي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِوَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ .

Tidak ada dosa yang Allâh cepatkan adzabnya kepadapelakunya di dunia ini di samping adzab yang telah disediakannya di akhirat daripada berlaku zhalim dan memutuskan silaturahim.[11]

Dalam hadits lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَابَانِ مُعَجَّلَانِ عُقُوْبَتُهُمَا فِـي الدُّنْيَا: اَلْبَغْيُ وَالْعُقُوْقُ.

Dua perbuatan dosa yang Allâh cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia: berbuat zhalim dan al-‘uquq (durhaka kepada orang tua).[12]

Keridhaan orang tua harus kita dahulukan daripada keridhaan istri dan anak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa anak yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak akan masuk surga dan Allâh Azza wa Jalla tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.

Ketiga: Berdusta
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dosa besar yang paling besar yang ketiga, yaitu sabda Nabi, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi palsu.”

Dusta atau bohong merupakan dosa besar karena dusta adalah keburukan dan kejahatan. Dusta tidak ada manfaatnya, bahkan merusak agama dan kepribadian seorang Muslim. Dusta menunjukkan rendahnya kepribadian seseorang dan kehinaan dirinya. Dusta selalu memutarbalikkan fakta, yang tidak ada seolah-olah ada, yang haq dikatakan batil, yang batil dikatakan benar, yang baik dikatakan jelek, yang jelek jadi baik, dan lainnya. Dusta membohongi diri sendiri dan orang lain. Dusta merupakan sifat orang munafik dan membawa kepada kejahatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyebutkan ciri-ciri orang munafik, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia menyelisihinya, dan  jika diberi amanah ia khianat.[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ،فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَايَزَال ُالرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّابًا

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).[14]

Zaman sekarang ini, banyak orang yang begitu mudah berkata dusta dan bersaksi palsu, ia menyangka bahwa dirinya telah berbuat baik kepada orang yang dia bela, tetapi tidak, sebaliknya dia telah berbuat buruk kepada dirinya, kepada orang yang dia bela, dan orang yang dituduh.

Adapun keburukan terhadap dirinya yaitu dia telah berbuat dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-Perbuatan buruk kepada orang yang dia bela yaitu karena dia menimpakan persaksian kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Sedangkan perbuatan buruk kepada orang yang dituduhnya, maka sudah jelas, dia telah berbuat zhalim dan melampaui batas terhadapnya.Karena inilah, persaksian palsu merupakan dosa besar yang paling besar –wal ‘iyâdzu billah-.

Janganlah engkau menyangka telah berbuat baik jika engkau bersaksi untuk seseorang dengan saksi palsu. Demi Allâh, engkau hanya berbuat buruk kepadanya. Sayangnya, zaman sekarang ini banyak sekali orang-orang yang bersaksi di pengadilan bahwa si fulan yang berhak, padahal dia berdusta, dan menggunakan nama-nama yang tidak benar. Tujuannya mereka adalah dunia, tetapi akhirnya mereka rugi di dunia dan di akhirat, wal ‘iyâdzu billâh.

Maka wajib bagi orang yang berakal agar berhati-hati dari empat perkara ini, yaitu: Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua, berkata bohong, dan bersaksi palsu.[15]

FAWAA-ID:

Dosa itu bervariasi tingkatannya, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkannya.

Dosa-dosa besar banyak sekali disebutkan dalam al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahih.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini tentang dosa-dosa besar yang paling besar.

Dosa terbagi menjadi dosa besar yang paling besar, dosa-dosa besar, dan dosa kecil.

Dosa yang paling besar adalah syirik (menyekutukan Allâh dengan makhluk-Nya). Syirik adalah kezhaliman yang paling besar.

Ancaman yang keras terhadap perbuatan syirik, durhaka kepada kedua orang tua, berbohong, dan sumpah palsu.

Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang dosa-dosa besar ini agar manusia berhati-hati, jangan sampai melakukan dosa-dosa tersebut.

Tiga dosar yang paling besar ini bila dilakukan oleh manusia, maka akan membawa malapetaka yang besar di dunia dan akhirat.

Kecintaan para shahabat kepada Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada diri mereka ada (sikap) rasa takut seorang murid kepada gurunya jika dia melihat gurunya tidak berkenan dan dia berharap agar gurunya itu tidak marah.

Disunnahkan untuk mengulang-ulang ucapan dan nasehat sampai tiga kali agar dapat difahami.

Disunnahkan untuk bersikap serius bagi pemberi nasehat dalam menyampaikan nasehatnya atau penceramah dalam menyampaikan ceramahnya, agar hal itu bisa lebih menyentuh kesadaran dan tepat untuk mencegah perbuatan yang dilarang.

Dibolehkan bagi seorang guru atau pengajar untuk memulai mengajukan pertanyaan kepada anak didiknya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sayang kepada ummatnya dengan menjelaskan perkara-perkara yang haram dan dosa-dosa besar yang paling besar, agar manusia menjauhkan dosa-dosa tersebut.

MARAAJI’:

Kutubussittah

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Adabul Mufrad, Imam al-Bukhâ

Sunan al-Baihaqi.

Ad-Dâ` wad Dawâ`, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiqSyaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.

Iqtidhâ`us Shirâthil Mustaqîm,Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Al-Ushûl ats-Tsalâtsah, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.

Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.

Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Prinsip Dasar Islam, cet. XIII, Pustaka at-Taqwa.

Do’a dan Wirid, cet. XXVI, Pustaka Imam asy-Syafi’i.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Lihat ad-Dâ’ wad Dawâ’ (hlm. 198) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[2] Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm(II/226) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]  Lihat ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 74) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan.
[4] Istighâtsah adalah meminta pertolongan kepada Allâh ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.
[5]  Ushûluts Tsalâtsah, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
[6]  Lihat buku Do’a dan Wirid (hlm. 115-116) oleh Penulis, cet. XXVI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta, th. 2014M.
[7] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6675) dan Muslim (no. 88 [144]).
[8] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5975) dan Muslim (no. 1715 (12)).
[9] Hasan: HR. Ahmad (VI/441) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 675).
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri (5973) dan Muslim (no. 90 (146)). Ini lafazh Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma
[11] Shahih: HR. Al-Bukhâri dalamAl-Adabul Mufrad (Shahîh al-Adabul Mufrad(no. 23)), Abu Dawud (no. 4902), at-Tirmidzi (no. 2511), Ibnu Majah (no. 4211), Ahmad (V/36, 38), al-Hâkim (II/356 dan IV/162-163). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih,” al-Hakim berkata, “Shahih sanadnya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[12] Shahih: HR. Al-Hâkim (IV/177) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1120).
[13] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 33) dan Muslim (no. 59 (107)).
[14] Ahmad (I/384), Al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386), Muslim (no. 2607 (105)), Abu Dawud (no. 4989), At-Tirmidzi (no. 1971), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf(VIII/424-425, no. 25991), Ibnu Hibban (no. 272-273-​at-Ta’l​î​q​â​tul Hisaan), Al-Baihaqi (X/196),Al-Baghawi (no. 3574) dari Abdullah bin Mas’ud I. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[15] Syarh Riyâdhish Shâlihîn,Syaikh al-‘Utsaimin (III/207).

.
Besar ancaman dosa yang akan diterima oleh pelaku zina, ternyata tidak seberapa dengan dosa yang satu ini. Dimana dosa ini 1000 kali lebih besar dari berzina. Ancaman bagi pelaku dosa tersebut adalah hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat. Lalu dosa apakah itu?

Ternyata dosa yang sedemikian besar itu adalah dosa orang yang sengaja meninggalkan salat lima waktu. Salat merupakan kewajiban utama umat Islam yang menjadi pondasi dasar agama Allah ini. Meninggalkannya sama dengan meruntuhkan tiang agama dan membuat Allah SWT menjadi murka. Tidak hanya saat di dunia, hukuman bagi orang yang meninggalkan salat, di akhirat juga sangat pedih.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

“Rasulullah SAW, diperlihatkan pada suatu kaum yang membenturkan kepala mereka pada batu, Setiap kali benturan itu menyebabkan kepala pecah, kemudian ia kembali kepada keadaan semula dan mereka tidak terus berhenti melakukannya. Lalu Rasulullah bertanya: “Siapakah ini wahai Jibril”? Jibril menjawab: “Mereka ini orang yang berat kepalanya untuk menunaikan Sholat fardhu”. (Riwayat Tabrani).

Dalam riwayat yang lain juga dijelaskan bagaiamana kejamnya siksaan bagi mereka yang meninggalkan shalat. Ibnu Abbas r.a. berkata Jika langit sudah terbuka, maka malaikat akan datang dengan membawa rantai sepanjang 7 hasta. Rantai ini akan digantungkan kepada orang yang tidak melaksanakan shalat. Kemudian dimasukkan dalam mulutnya dan akan keluar dari duburnya. Kemudian malaikat mengumumkan, “ini adalah balasan orang yang menyepelekan perintah Allah.” (Ibnu Abbas r.a).

 “Rasulullah SAW, diperlihatkan pada suatu kaum yang membenturkan kepala mereka pada batu, Setiap kali benturan itu menyebabkan kepala pecah, kemudian ia kembali kepada keadaan semula dan mereka tidak terus berhenti melakukannya. Lalu Rasulullah bertanya: “Siapakah ini wahai Jibril”? Jibril menjawab: “Mereka ini orang yang berat kepalanya untuk menunaikan Sholat fardhu”. (Riwayat Tabrani).

Dalam riwayat yang lain juga dijelaskan bagaiamana kejamnya siksaan bagi mereka yang meninggalkan shalat. Ibnu Abbas r.a. berkata Jika langit sudah terbuka, maka malaikat akan datang dengan membawa rantai sepanjang 7 hasta. Rantai ini akan digantungkan kepada orang yang tidak melaksanakan shalat. Kemudian dimasukkan dalam mulutnya dan akan keluar dari duburnya. Kemudian malaikat mengumumkan, “ini adalah balasan orang yang menyepelekan perintah Allah.” (Ibnu Abbas r.a).

Nisbah dosa yang diterima oleh orang yang meninggalkan shalat adalah antara lain adalah sebagai berikut:

* Jika satu kali meninggalkan shalat subuh, maka hukumannya adalah masuk neraka selama 30 tahun, sedangkan satu hari di neraka sama dengan  60.000 tahun di dunia. Artinya satu kali tidak melaksanakan salat subuh, maka kita akan mendekam 60 ribu tahun di neraka.
* Meninggalkan satu kali salat zuhur, sama dosanya dengan dosa membunuh  1.000 umat Islam
* Dosa satu kali meninggalkan shalat ashar sama dengan dosa meruntuhkan Ka’bah
* Dosa satu kali meninggalkan shalat maghrib sama dengan dosa berzina dengan ibunya (jika laki-laki) atau berzina dengan ayahnya (jika perempuan)
* Satu kali meninggalkan shalat isya, tidak akan di-ridhoi oleh Allah untuk tinggal di Bumi dan akan didesak mencari bumi atau tempat hidup yang lain.

HAK nya Allah

Hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Wajib Dipenuhi Oleh Hamba

HAK ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA YANG WAJIB DIPENUHI OLEH HAMBA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Dari Mu’âdz bin Jabal[1]Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku pernah dibonceng oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

Wahai Mu’âdz! Tahukah engkau apa hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allâh?’ Aku menjawab, ‘Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâh ialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Tidakperlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Janganlah kausampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan tidak beramal shalih)’.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih.Diriwayatkan oleh:

Al-Bukhâri, no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373

Muslim, no. 30,

Ahmad, V/228, 230, 236, 242,

Abu Dâwud, no. 2559,

At-Tirmidzi, no. 2643,

An-Nasa`i dalam as-Sunanul Kubra, no. 9943,

Ibnu Mâjah, no. 4296,

Abu ‘Awanah, I/16,

Abu Dâwud ath-Thayâlisi, no. 566,

Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr, XX/no. 256,

Dan lainnya.

Lafazh yang dibawakan adalah salah satu riwayat Muslim, sementara dalam salah satu riwayat al-Bukhâri ada tambahan, “Lalu di akhir hayatnya, Mu’âdz mengabarkan hadits ini (kepada manusia) karena takut dosa (menyembunyikan ilmu).”

KOSA KATA HADITS

دَرَى- يَدْري- دِرَايَةً : mengetahui, danad-dirâyah adalah al-ma’rifah(pengetahuan).

حَقُّ اللهِ : Apa yang menjadi hak Allâh atas hamba-Nya, yang Allâh jadikan sebagai kewajiban atas mereka, serta menekankannya dengan firman-Nya.[2]

العِبَادَةُ :Merendahkan diri dan tunduk.

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan kewajiban bertauhid atas para hamba dan keutamaannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyajikannnya dalam bentuk pertanyaan, agar lebih berpengaruh pada jiwa dan lebih mudah dipahami oleh orang yang belajar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada Mu’âdz Radhiyallahu anhu tentang keutamaan tauhid, Mu’âdz meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada umat manusia guna menyenangkan mereka. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir manusia akan bersandar kepada hal tersebut dan kurang melakukan amal shalih.[3]

Perkataan Mu’âdz Radhiyallahu anhu , “Aku pernah dibonceng oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai,”menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtawâdhu’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makhluk yang paling mulia secara mutlak, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mau membonceng sahabatnya.

Perkataan Mu’adz Radhiyallahu anhu , “Lalu Beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’âdz!’” Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajari Mu’âdz Radhiyallahu anhu sebuah hukum yang agung, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyampaikannya dengan metode tanya-jawab, agar hal tersebut lebih dapat mengundang perhatian. Pembelajaran dengan metode soal-jawab termasuk metode paling bagus dan berhasil dalam mengajarkan ilmu. Kita bertanya kepada murid tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu kita berikan jawabannya, lebih bagus daripada kita langsung memulai dengan menyampaikan sebuah masalah, padahal murid sedang tidak perhatian atau belum siap menerimanya. Ini adalah salah satu metode pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering Beliau gunakan.

Ketika Mu’âdz Radhiyallahu anhu ditanya tentang sebuah masalah besar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Ini merupakan adab penuntut ilmu. Jika ia ditanya tentang sesuatu dan ia tidak mengetahuinya, maka hendaklah dia mengatakan “Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Janganlah dia mereka-reka sesuatu yang tidak ia ketahui, tetapi kembalikanlah urusan itu kepada ahlinya.

Ini juga merupakan metode pembelajaran yang berhasil, yaitu seseorang jika ditanya tentang suatu ilmu atau masalah yang tidak ia ketahui, maka dia akan menjawab, “Saya tidak tahu.” Atau “ Allahu a’lam (Allâh yang lebih mengetahui).” Dan itu tidak mengurangi harga dirinya atau merendahkan martabatnya, tidak seperti perkiraan sebagian orang. Bahkan hal itu bisa mengangkat derajatnya karena itu bis menjadi bukti keagungan kedudukan, ketaqwaan, kekuatan agama, kesucian hati, dan kesempurnaan pengetahuannya.

Imam asy-Sya’bi rahimahullah (wafat th. 105 H) mengatakan,“(Perkataan seseorang) ‘aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”[4]

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah (wafat th. 198 H) berkata, “Ada seorang dari Maghrib (Maroko) bertanya kepada Imam Mâlik bin Anas rahimahullah (wafat th. 179 H) tentang suatu masalah, Imam Mâlik rahimahullah pun berkata, ‘Lâ adri (saya tidak tahu).’ Orang itu pun berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdillah (kun-yah Imam Mâlik), engkau berkata tidak tahu??’ Imam Mâlik rahimahullah menjawab, ‘Ya, sampaikan kepada orang-orang di belakangmu (di negerimu) bahwa aku tidak tahu.’”[5]

Kita wajib mengembalikan ilmu kepada ahlinya (para ulama), dan tidak boleh ikut campur dalam sesuatu yang tidak kita ketahui hukumnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya​.[Al-Isrâ`/17:36]

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [Al-An’âm/6:144]

Dan banyak lagi ayat-ayat serta hadits-hadits yang menjelaskan ini. Oleh karena itu, orang yang ingin dirinya selamat, serta orang lain juga selamat, janganlah ikut campur pada sesuatu yang tidak ia ketahui, karena itu akan menyulitkan dirinya dan orang lain. Jika ia nekad menjawab dan salah, berarti ia telah menyesatkan umat manusia. Ini adalah masalah besar yang wajib kita pikirkan. Seseorang tidak boleh terburu-buru dalam menjawab suatu hal, kecuali jika dia telah mengetahuinya dengan sempurna. Jika tidak, maka berhentilah di tepi pantai keselamatan, jangan masuk ke dalam lautan jika tak pandai berenang.

Perkataan ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui’ dikatakan pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat, maka kita katakan, ‘Allâhu a’lam’. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpindah dari alam dunia ke alam akhirat, maka ilmu dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla yang memberikan Rasul-Nya ilmu yang agung,

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

… dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allâh yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar … [An-Nisâ`/4:113]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki ilmu dari Allâh Azza wa Jalla dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semasa hidupnya, adapun setelah wafatnya, maka Beliau telah menyelesaikan tugas dan risalahnya, dan tidak lagi menjawab suatu masalah.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Ini adalah hak Allâh atas hamba-Nya, hak yang paling pertama dan yang paling pasti. Karena manusia menanggung hak-hak yang wajib ia penuhi. Hak yang paling besar adalah hak Allâh, hak kedua orang tua, sanak kerabat, kemudian hak anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, dan para pemimpin (hak ulil amri). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. [An-Nisâ`/4:36]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sepuluh hak, yang paling pertama adalah hak Allâh, yaitu beribadah hanya kepada Allâh saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun juga.

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut istilah syar’i (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

Ibadah adalah taat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para Rasul-Nya.

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah(kecintaan) yang paling tinggi.[6]

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla , baik berupa ucapan atau perbuatan, yangzhahir maupun yang bathin.

Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.[7]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nûniyyah-nya tentang makna ibadah,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ           مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـا قُـطْبَـانِ
وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ          مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ
وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ           لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

Ibadah kepada Allâh adalah puncak cinta (yang sangat) kepada-Nya
       Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros (ibadah)
Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar
       Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak
Porosnya adalah (melaksanakan) agama – yaitu agama (yang dibawa oleh) Rasul-Nya
       Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan bukan pula mengikuti syaithan[8]

Tidak cukup hanya beribadah kepada-Nya saja, tetapi juga tidak boleh menyekutukannya dengan suatu apa pun. Karena ibadah tidak akan menjadi ibadah kecuali dengan berlepas diri dan bersih dari syirik. Adapun jika sudah tercampur syirik, maka tidak lagi dinamakan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Rabb-nya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Syirik membatalkan ibadah dan membatalkan seluruh amalan. Amalan yang di dalamnya ada syirik tidak akan sah. Jika seseorang membebani dirinya dengan berbagai ibadah, tetapi dia berbuat syirik besar, maka ibadahnya batal, terhapus, dan tidak ada nilainya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allâh), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi. Karena itu, hendaklah Allâh saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur.[Az-Zumar/39:65-66]

Syirik menghapus semua amalan. Oleh karena itu, banyak perintah beribadah kepada Allâh diiringi dengan larangan dari perbuatan syirik.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun…” [An-Nisâ`/4:36]

Inilah makna Lâ Ilâha Illallâh, karena Lâ Ilâha Illallâh memiliki dua rukun, nafi dan itsbat. Nafiyaitu menafikan kesyirikan danitsbât yaitu menetapkan tauhid.[9]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

Hendaklah mereka beribadah kepada Allâh saja.

Ibadah adalah perkara tauqifiyahyaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Ibadah yang tidak disyari’atkan berarti bid’ahmardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[10]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

Pertama : Ikhlas karena Allâh semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Kedua : Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syarat pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâilâha illallâh, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allâh dan jauh dari syirik. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadatMuhammad Rasûlullâh, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerah-kan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. [Al-Baqarah/2:112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allâh. Wahua muhsin(berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Allâh berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Hal yang demikian itu merupakan realisasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwa Muhammad n adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya, maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau (Rasûlullâh) Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.”[11]

Bila ada orang yang bertanya, “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Maka beribadahlah kepada Allâh dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. [Az-Zumar/39:2]

Kedua : Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mempunyai hak dan wewenang Tasyrî’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allâh semata. Barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang di-perintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya dalam Tasyrî’.

Ketiga : Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama bagi kita. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

Keempat : Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allâh dan Rasul-Nya.[12]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâhialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Ini merupakan karunia dan rahmat Allâh, karena menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, Allâh Azza wa Jalla  tidak memiliki tanggungan hak yang wajib Dia tunaikan terhadap makhluk-Nya. Tetapi itu semua merupakan karunia dan rahmat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman. [Ar-Rûm/30:47]

Karena karunia dan rahmat Allâh, maka Allâh tidak menyiksa hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa orang yang bersih dari syirik besar maupun kecil, maka dia akan selamat dari adzab. Adapun ancaman bagi para pelaku maksiat dan orang-orang fasik yang tidak menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan apa pun, tetapi mereka berbuat dosa selain syirik, seperti zina, minum khamr, ghibah, namimah dan lainnya, maka ini adalah dosa-dosa yang berhak mendapatkan adzab. Tetapi dia di atas kehendak Allâh, jika Allâh berkehendak maka Allâh akan mengampuninya tanpa mendapat adzab dan memasukkannya ke surga. Dan jika Allâh berkehendak, Dia akan mengadzabnya sesuai kadar dosanya, lalu Allâh mengeluarkan dia (dari Neraka) karena tauhidnya dan memasukkannya ke surga. Bisa jadi Allâh mengeluarkan mereka karena syafa’at yang mereka dapatkan, atau bisa jadi karena rahmat-Nya. Jadi walaupun mereka diadzab, tetap saja tempat kembali mereka adalah surga.[13]

Orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik maka mereka akan mendapat rasa aman di dunia dan akhirat serta mendapat hidayah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. [Al-An’âm/6:82]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

Janganlah kausampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan meninggalkan amal shalih).

Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir jika orang-orang mendengar hak hamba atas Allâh tersebut, mereka akan menyandarkan diri dari segi pengharapan dan gampang berbuat maksiat, serta mereka akan berkata, “Selama kami bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla , maka maksiat tidak akan membahayakan kami, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ Dan Alhamdulillah, kami bukan orang musyrik, kami hanya menyembah Allâh Azza wa Jalla saja.” Kemudian mereka mudah terjatuh dalam maksiat dan rasa harap mereka lebih besar dari rasa takut mereka. Inilah hikmah bahwa ilmu harus diletakkan pada tempatnya. Jika dikhawatirkan akan timbul bahaya yang lebih besar dalam penyampaian masalah kepada sebagian orang, maka (lebih baik) disembunyikan dari mereka karena kasih dan sayang kepada mereka agar tidak terjatuh pada hal yang berbahaya.

Hadits ini, akhirnya disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu di akhir hayatnya, karena beliau Radhiyallahu anhu takut jatuh dalam perbuatan dosa besar dengan menyembunyikan ilmu.

Maka hendaknya bagi seorang penuntut ilmu, pemberi nasehat, dan pengajar wajib memperhatikan keadaan manusia dan para hadirin, memberikan kepada mereka masalah-masalah yang mereka butuhkan serta tidak menyampaikan masalah asing yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang-orang yang dalam pemahamannya. Ajarilah mereka masalah-masalah permulaan yang mudah dipahami secara bertahap sedikit demi sedikit.[14]

FAIDAH-FAIDAH HADITS

Mengenal hak Allâh Azza wa Jalla yang wajib dilaksanakan oleh para hamba yaitu beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.

Orang yang tidak menjauhi kesyirikan (mempersekutukan Allâh dalam ibadah) –walaupun dia beribadah kepada Allâh- maka pada hakikatnya dia tidak melaksanakan ibadah, seperti orang-orang musyrik Quraisy yang mereka beribadah kepada Allâh, mereka thawaf dan shalat, dan lainnya. Akan tetapi tatkala ibadah itu tidak dikerjakan dengan ikhlas dan tidak sesuai syari’at maka perbuatan mereka tidak dinamakan ibadah. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada mereka:

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

Dan kamu bukan penyembah apa yang aku ibadahi. [Al-Kâfirûn/109:3]

Yakni, kalian tidak beribadah seperti ibadahku karena ibadah kalian dibangun di atas kesyirikan, maka hal itu bukanlah peribadahan kepada Allâh Azza wa Jalla .[15]

Dalam hadits ini terdapat makna tauhid, yaitu beribadah kepada Allâh semata dan meninggalkan syirik (mempersekutukan Allâh dalam ibadah). Yaitu dengan melaksanakan apa yang Allâh dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhkan apa yang Allâh dan Rasul-Nya larang.

Inti dari agama Islam adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kewajiban hamba terhadap Allâh yaitu wajib mentauhidkan Allâh dalam rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

Orang yang bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik, maka dia akan mendapat rasa aman di dunia dan akhirat serta mendapat petunjuk. [Al-An’âm/6:82]

Keutamaan tauhid: bahwa orang yang berpegang teguh kepada tauhid maka Allâh akan masukkan dia ke dalam surga dan diharamkan baginya neraka.

Syarat ibadah ada dua yaitu ikhlas dan ittiba’.

Ketawadhu’an Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mau mengendarai keledai dan membonceng orang lain, berbeda dengan keadaan orang-orang yang sombong.

Cara pengajaran bisa dilakukan dengan cara soal-jawab.

Orang yang ditanya tentang sesuatu kemudian tidak mengetahui jawabannya maka hendaknya dia mengatakan: Allâhu a’lam(Allâh yang lebih mengetahui), tidak boleh dia berbicara tanpa ilmu.[16]

Dianjurkan untuk memberikan kabar gembira kepada sesama Muslim.

Bolehnya menyembunyikan ilmu demi kemaslahatan.

Seorang murid hendaknya mempunyai adab yang baik terhadap gurunya.

Keutamaan shahabat Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu .

MARAAJI’:

Kutubus sittah.

Musnad Ahmad.

Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâ

Al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fil Intishâr lil Firqatin Nâjiyah,Ibnul Qayyim al-Jauziyyah,tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.

Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh ‘Abdurrahman Alusy Syaikh.

I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.

Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.

Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Ath-Tharîq Ilal Islam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Pustaka At-Taqwa.

Prinsip Dasar Islam, Pustaka At-Taqwa.

Dan lainnya

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Beliau adalah Abu ‘Abdirrahman Mu’âdz bin Jabal al-Anshâri al-Khazraji Radhiyallahu anhu, seorang Shahabat yang terkenal, salah seorang Ulama dari kalangan Shahabat. Wafat di Syam karena wabah Tha’un Amwas pada tahun 18 H
[2] Fat-hul Bâri (XI/339)
[3]  Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, hlm. 22.
[4]  Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/63) dan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, II/368, no. 1119
[5] Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalamal-Faqîh wal Mutafaqqih (II/370, no. 1122), diriwayatkan juga dari jalan lain oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/838, no. 1573) dan Ibnu Abi Hatim dalamMuqaddimah al-Jarh wat Ta’dîl, hlm. 18.
[6]  Al-‘Ubûdiyyah, hlm. 34 dan 152.
[7]  Al-‘Ubûdiyyah, hlm. 23.
[8]  Al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fil Intishâr lil Firqatin Nâjiyah, fashl11, hlm. 70 no. 514-516, tahqiqSyaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
[9] I’ânatul Mustafîd, I/42-46, dengan ringkas, Fat-hul Majîd,dan al-‘Ubûdiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[10] Shahih: HR. Muslim, no. 1718 (18)) dan Ahmad, VI/146; 180; 256, dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[11] Lihat Al-‘Ubûdiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 221-222, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12] Dinukil dari kitab ath-Tharîq ilal Islâm, hlm. 76-77, cet. 2, Daar Ibnu Khuzaimah, th. 1427 H, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.
[13] I’ânatul Mustafîd, I/47-48, dengan ringkas.
[14] I’ânatul Mustafîd, I/49-51, dengan ringkasdan sedikit tambahan.
[15] Lihat al-Qaulul Mufiid, I/49-50.
[16] Lihat al-Jadîd, hlm. 33

HUKUM TAWASUL

HUKUM WASILAH (TAWASSUL)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

al-Wasilah  secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalahwasaa-il.[1]

al-Fairuz Abadi mengatakan tentang makna “وَسَّلَ إِلَى اللهِ تَوْسِيْلاً”: “Yaitu ia mengamalkan suatu amalan yang dengannya ia dapat mendekatkan diri kepada Allâh,”[2]

Selain itu wasilah juga mempunyai makna yang lain yaitu kedudukan di sisi raja, derajat dan kedekatan.[3]

Wasilah secara syar’i (terminologi) yaitu yang diperintahkan di dalam al-Qur’ân adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu berupa amal ketaatan yang disyari’atkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allâh dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, [al-Mâ-idah/5:35]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh (al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujâhid, Abu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya. Qatâdah berkata tentang makna ayat tersebut, “Mendekatlah kepada Allâh dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya.”[4]

Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara tertentu) ada tiga macam:

Masyrû’, yaitu tawassul kepada Allâh Azza wa Jalla dengan Asma’ dan Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui doa orang shalih yang masih hidup.

Bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.

Syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta keperluan dan memohon pertolongan kepada mereka.[5]

Tawassul yang Masyrû’
Tawassul yang masyru’ (yang disyari’atkan) ada 3 macam, yaitu:[6]

1. Tawassul dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Yaitu seseorang memulai doa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengagungkan, membesarkan, memuji, mensucikan Dzat-Nya yang Maha Tinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi kemudian berdoa  (memohon) apa yang dia inginkan. Inilah bentuk doa dengan menjadikan pujian dan pengagungan sebagai wasilah kepada-Nya agar Dia mengabulkan doa dan permintaannya sehingga dia pun mendapatkan apa yang dia minta dari Rabb-nya.

Dalil dari al-Qur-ân tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan Allâh memiliki Asma-ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7:180]

Dalil dari al-Hadits tentang tawassul yang masyru’ ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang yang berucap dalam dalam shalatnya :

اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، اَلْمَنَّانُ، يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، إِنِّي أَسْأَلُكَ  الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

“Ya Allâh, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka).”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَقَدْ دَعَا اللهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيْمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ، وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى

Sungguh dia telah meminta kepada Allâh dengan Nama-Nya yang paling agung yang apabila seseorang berdoa dengannya niscaya akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi permintaannya.”[7]

Juga hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa :

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ أَصْلِحْ لِى شَأْنِي كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.

Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau serahkan urusanku kepada diriku meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).[8]

2. Seorang Muslim bertawassul dengan amal shalih yang dilakukannya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 (Yaitu) orang-orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari adzab Neraka. [Ali ‘Imrân/3:16][9]

Dalil lainnya yaitu tentang kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua lalu mereka bertawassul kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amal-amal mereka yang shalih lagi ikhlas, yang mereka tujukan untuk mengharap wajah Allâh Yang Mahamulia, maka mereka diselamatkan dari batu yang menutupi mulut gua tersebut.[10]

3. Tawassul kepada Allâh Azza wa Jalla dengan doa orang shalih yang masih hidup.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla , sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allâh, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur-ân serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allâh supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan, seperti:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, telah musnah harta dan telah kelaparan keluarga.’ Lalu Rasûlullâh mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Allâh turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allâh, turunkanlah hujan kepada kami.” Tidak lama kemudian turunlah hujan.[11]

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu –ketika terjadi musim paceklik– ia meminta hujan kepada Allâh Azza wa Jalla melalui ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib Radhiyallahu anhu , lalu berkata, “Ya Allâh, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Ia (Anas bin Mâlik) berkata, “Lalu mereka pun diberi hujan.”[12]

Seorang Mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya, “Berdoalah kepada Allâh agar Dia memberikan keselamatan bagiku atau memenuhi keperluanku.” Dan yang serupa dengan itu. Sebagaimana juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada seluruh ummatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah adzan atau memohon kepada Allâh agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu , bahwasanya ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.

Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allâh akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) kepada Allâh untukku karena ia adalah kedudukan di dalam Surga yang tidak layak bagi seseorang kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allâh dan aku berharap akulah hamba tersebut. Maka, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka dihalalkan syafa’atku baginya.[13]

Doa yang dimaksud adalah doa sesudah adzan yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ

Ya Allâh, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang akan didirikan. Berilah al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bangkitkanlah beliau sehingga dapat menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan.[14]

Tawassul Bid’ah
Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam,[15] di antaranya:

1. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kedudukan orang selainnya.
Perbuatan ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِجَاهِيْ، فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ

Jika kalian hendak memohon kepada Allâh, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allâh adalah agung

Hadits ini bathil tidak jelas asal-usulnya dan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan, tidak juga seorang Ulama ahli hadits pun yang menyebutkannya sebagai hadits.[16] Jika tidak ada satu pun dalil yang shahih tentangnya, maka itu berarti tidak boleh, sebab setiap ibadah tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan dalil yang shahih dan jelas.

2. Tawassul dengan dzat makhluk.
Jika dimaksudkan: seseorang bersumpah dengan makhluk dalam meminta kepada Allâh, maka tawassul ini –seperti bersumpah dengan makhluk– tidak dibolehkan, sebab sumpah makhluk terhadap makhluk tidak dibolehkan, bahkan termasuk syirik, sebagaimana disebutkan di dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

Barang siapa yang bersumpah dengan selain Nama Allâh, maka ia telah berbuat kufur atau syirik[17]

Apalagi bersumpah dengan makhluk kepada Allâh, maka Allâh tidak menjadikan permohonan kepada makhluk sebagai sebab terkabulnya doa dan Dia tidak mensyari’atkannya.

3. Tawassul dengan hak makhluk.
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan:

Pertama, bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justru sebaliknya, Allâh-lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya :

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

“… Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” [ar-Rûm/30:47]

Orang yang taat berhak mendapatkan balasan (kebaikan) dari Allâh karena anugerah dan nikmat, bukan karena balasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.

Kedua, hak yang dianugerahkan Allâh kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan tidak ada kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara asing yang tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya sama sekali.[18]

Adapun hadits yang berbunyi :

أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ ….

“Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon ….”

Hadits ini dha’if sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (III/21), lafazh ini milik Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam sanad hadits ini terdapat ‘Athiyyah al-‘Aufi dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu . ‘Athiyyah adalah perawi yang dha’if seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Adzkâr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Qâ’idatul-Jalîlah dan Imam adz-Dzahabi dalam al-Miizân, bahkan dikatakan (dalamadh-Dhu’aa-faa’, I/88): “Disepakati kedha’ifannya!!” Demikian pula oleh al-Hafizh al-Haitsami di tempat lainnya dari Majma’uz Zawâ-id (V/236).[19]

Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah! Hanya milik Allâh agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allâh akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allâh tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar. [az-Zumar/39:3][20]

Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit sudah tidak bias lagi berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu dan para Shahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertawassul, dan meminta syafa’at kepada orang yang masih hidup, seperti kepada al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik di kuburan beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti (dengan orang yang masih hidup).

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allâh, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, sehingga Engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami.’ Ia (Anas) berkata: ‘Lalu Allâh menurunkan hujan.’[21] Mereka menjadikan al-‘Abbas Radhiyallahu anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesuai dengan yang disyari’atkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul melalui beliau, jika memang hal itu dibolehkan. Dan mereka (para Sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan buktitidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka. Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang lebih rendah derajatnya.[22]

وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖوَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

“Dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allâh memberikan pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” [Fâthir/35:22]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar (V/185) oleh Majduddin Abu Sa’adat al-Mubarak Muhammad al-Jazry yang terkenal dengan Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) rahimahullah.
[2] Qâmûsul Muhîth (III/634), cet. Daarul Kutub Ilmiyah.
[3] Tawassul Anwâa’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 12), oleh Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.
[4]  Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari(IV/567), cet. Daarul Kutub al-’Ilmiyyah dan Tafsîr Ibni Katsiir(III/103), tahqiq Sami Muhammad as-Salamah, cet. IV, th. 1428 H, Daar at-Thaybah.
[5]  Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah (hlm. 15-17).
[6]  Diringkas dari at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 30-40), oleh Syaikh al-Albani; Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il (II/335-355) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin; dan Haqîqatut Tawassul al-Masyrû’ wal Mamnû’,tash-hih Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin.
[7]  Shahîh: HR. Abu Dawud (no. 1495), an-Nasa-i (III/52) dan Ibnu Majah (no. 3858), dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . Lihat Shahîh Ibni Mâjah (II/329).
[8]  Shahîh: HR. An-Nasa-i, al-Bazzar dan al-Hakim (I/545).Hadits ini hasan, lihatShahîhut Targhîb wat Tarhîb (I/417, no. 661).
[9]  Lihat juga. Ali ‘Imran: 53 dan 193-194.
[10]  Shahîh: HR. al-Bukhari (no.2272, 3465) dan Muslim (no. 2743) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Riyâdhush Shâlihîn (no. 12, bab Ikhlas)
[11]  Shahîh: HR. al-Bukhari (no. 932, 933, 1013) dan Abu Dawud (no. 1174), dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[12]  Shahîh: HR. al-Bukhari (no. 1010, 3710) dan Ibnu Sa’d dalamath-Thabaqât (III/20) cet. Daarul Fikr.
[13]  Shahîh: HR. Muslim (no. 384), Abu Dawud (no. 523), at-Tirmidzi (no. 3614) dan an-Nasa’i (II/25), lafazh ini milik Muslim.
[14]  Shahîh: HR. al-Bukhari (Fat-hul Bâri, II/94 no. 614),Abu Dawud (no. 529), at-Tirmidzi (no. 211), an-Nasa-i (II/26-27) dan Ibnu Majah (no. 722)
[15]  Dinukil dari ‘Aqîdatut Tauhîd(hlm. 142-144) oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[16]  Lihat Majmû’ Fatâwâ (I/319) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]  Shahîh: HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. al-Hâkim berkata, “Hadits ini Shahîh menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah (no. 2042).
[18]  ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 144).
[19]  Dinukil dari Tawassul ‘Anwâ-uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 92) oleh Syaikh al-Albani. Lihat jugaSilsilatul Ahâdîts adh-Dha’îfah(no.24) oleh Syaikh al-Albani.
[20]  Lihat juga QS. Al-Ahqâf: 5-6.
[21]  Shahîh: HR.Al-Bukhari (no.1010) dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu.
[22]  Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid(hlm.142-143).