Sabtu, 29 Juni 2019

Munafik yang Pandai Bersilat Lidah

Di zaman ini, potret di atas sering kita dapati pada beberapa orang yang biasa disebut cendekiawan muslim. Ada yang membela LGBT, ada yang menetang syariat Allah da nada pula yang menistakan syariat Allah.
Potret-potret semacam itu mengingatkan kita tentang sabda Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wasallam– perihal para munafik aliimul liisan. Munafik yang pandai bersilat lidah.  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan keberadaan orang-orang munafik ini, para pembual yang pandai mengolah kata dan pandai berbicara. Beliau bersabda :
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti menimpa umatku, adalah setiap munafik yang pandai bicara (bersilat lidah).” (HR. Ahmad no. 143)
Senada dengan itu, suatu ketika Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu naik mimbar kemudian berpidato :
 إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ الْمُنَافِقُ الْعَلِيمُ ، قِيلَ : وَكَيْفَ يَكُونُ الْمُنَافِقُ عَلِيمٌ ؟ قَالَ : عَالِمُ اللِّسَانِ، جَاهِلُ الْقَلْبِ وَالْعَمَلِ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar? Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim), tapi hati dan perilakunya jahil”. (Ihya Ulumuddin, hlm. 1/59)
Adapun maksud dari ‘Alimul Lisan (pandai bicara) adalah mereka mempergunakan kepandaian agamanya mempengaruhi manusia, menggunakan dalil-dalil tapi tidak mengamalkannya, banyak berkata-kata sesuai pesanan yang membayarnya dan memperindah perkataannya untuk menarik masa sebanyak-banyaknya. Al-Imam Muhammad Al-Munawi rahimahullah menjelaskannya untuk menerangkan hadist di atas:
(عليم اللسان) أي عالم للعلم منطلق اللسان به، لكنه جاهل القلب فاسد العقيدة، يغر الناس بشقشقة لسانه، فيقع بسبب تباعه خلق كثير في الزلل
“Yang dimaksud dengan “’alim lisannya” yaitu dia ‘alim terhadap ilmu dan lisannya lugas menyampaikan ilmu, akan tetapi jahil (bodoh) hatinya lagi rusak akidahnya, dia menipu manusia dengan kefasihan lidahnya, sehingga banyak orang tersesat karena mengikutinya.” (Faidhul Qadir, 1/221)
Contoh Munafik ‘Aliimul Lisan disebutkan olehAl-Munawi di dalam Faidhul Qadir adalah Dzul Khuwaishirah at-Tamim an-Najdi. Dia adalah orang yang menampakkan kesholehan di hadapan orang banyak, terlihat tanda-tanda atau bekas ibadah sunnahnya namun berakhlak buruk, seperti suka mencela, merasa paling benar, buruk sangka kepada kaum muslim dan keras kepada kaum muslim namun lemah lembut kepada orang kafir. Orang seperti ini sangat hina, mereka berbusana Islam tapi bertujuan untuk menyobek-nyobek busana tersebut, merusak citra Islam.

Kisah Dzul Khuwaisirah ini diceritakan dalam riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya:
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ، جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ذِي الْخُوَيْصِرَةِ التَّمِيمِيُّ، فَقَالَ: ” اعْدِلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ، قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَهُ
Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang membagi (harta rampasan), tiba-tiba ‘Abdullah bin Dzil-Khuwaishirah At-Tamiimiy datang, lalu berkata : “Berbuat adillah wahai Muhammad !”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Celaka engkau. Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tak berbuat adil ?”. Mendengar itu ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya !”.  (HR. Al-Bukhari no. 6933)
Kisah tersebut menceritakan bahwa Dzul Khuwaishirah meminta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat adil. Dia menggunakan kata adil, bukan untuk menuntut keadilan, namun dia meggunakan kata tersebut untuk menyerang pribadi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tujuannya agar para sahabat menganggap beliau membagi ghanimah secara tidak adil.
Pola seperti ini juga yang dilakukan hari ini, mereka mengesankan dirinya membela kebenaran dengan berbagai argumentasi yang seolah-olah syar’i, namun pada hakikatnya mereka sedang menyerang Islam, membela kemungkaran dan menggerogoti sendi-sendi Islam secara perlahan.
Mewaspadai Munafik yang Pandai Bicara
Di era keterbukaan informasi, orang munafik justru menampakan diri secara terang-terangan. Mereka menggunakan atribut-atribut keislaman, didapuk sebagai representasi ormas Islam, namun pemikiran jauh dari Islam, bahkan mendekati kekafiran. Mereka tidak hanya dari kalangan miskin ilmu, bahkan mereka intelektual dan cendekiawan Muslim, namun mereka mencampurkan yang haq dengan yang bathil, memelintir dalil-dalil, dan mengolah kata-katanya sehingga tampak benar.
Orang-orang munafik ini pun mengaku dirinya yang paling Islam, padahal tidak, tujuannya adalah menipu umat Islam. Ketika umat Islam sudah terbius dengan penampilan mereka, mereka mulai menampakan pemikiran-pemikiran aneh dan menyimpang kepada masyarakat. Jurus andalan mereka adalah kepandaian mereka dalam berbicara, berdebat dan berargumen.

Kepada orang-orang munafik ini, hendaknya kita menjauhi mereka dan tidak peduli dengan apa yang mereka katakan. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS. Al-An’am : 68)
Demikianlah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu, orang-orang munafik yang pandai bersilat lidah ini hendaknya ditinggalkan. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sirin rahimahullah dalam Sunan Ad-Darimi dari Asma’ bin Ubaid:
دخل رجلان من أصحاب الأهواء على ابن سيرين فقالا : يا أبا بكر، نحدثك بحديث؟ قال : لا، قالا : فنقرأ عليك آية من كتاب الله؟ قال : لا، لتقومان عني أو لأقومن. قال : فخرجا، فقال بعض القوم : يا أبا بكر، وما كان عليك أن يقرآ عليك آية من كتاب الله تعالى؟ قال : إني خشيت أن يقرآ علي آية فيحرفانها فيقر ذلك في قلبك
“Dua orang ahli Bid’ah menemui Ibnu Sirin, kemudian berkata : Wahai Abu Bakar, mau kah kamu mengecek hafalan hadist kami? Ibnu Sirin menjawab : tidak. Lantas keduanya berkata : “Kami ingin kamu mengecek pemahaman kami terhadap kitabullah? Ibnu Sirin menjawab : tidak, hendaknya kalian pergi atau aku yang pergi. Maka Asma’ bin Ubaid meneruskan, mereka berdua pergi kemudian seseorang bertanya : “Wahai Abu Bakar, mengapa kamu menolak mereka yang ingin mengecek pemahamannya tentang ayat-ayat al-Qur’an kepadamu? Ibnu Sirin menjawab : “Saya khawatir mereka berdua akan membacakan beberapa ayat di hadapanku kemudian memelintir maknanya, dan (kesesatan yang mereka sampaikan) membekas di hatimu.” (Sunan ad-Darimi no. 400)
Keberadaan orang munafik sangat membahayakan, potensinya akan membawa umat kepada penyimpangan dan hancurnya Islam dari dalam. Dalam kehidupan, mereka tampak seperti saudara namun dalam pemikirannya mereka memusuhi Islam dan mengkhianati Islam. Apapun yang mereka ucapkan tidak lain karena motivasi duniawi atau pesanan dari pemilik kekuasaan. wallahu ‘alam bish showab..

Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah menyebutkan keterangan Nabi Muhammad SAW tentang ciri-ciri orang munafik. "Jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar, dan jika dipercaya selalu berkhianat."
Nifaq adalah nama perbuatan buruk itu. Pelakunya disebut sebagai munafik. Di luar tiga ciri itu, ada ciri lainnya. Simak hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar. Nabi SAW bersabda, "Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. (Yaitu) jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan memaki lawan jika terdapat perbedaan pendapat."
Betapa cemasnya para sahabat Nabi SAW bila sampai mengidap empat ciri-ciri itu. Seperti disebutkan Ibnu Abi Mulaikah (wafat 117 Hijirah), "Aku bertemu dan berteman dengan 30 sahabat besar Nabi SAW yang selalu merasa ketakutan bila digolongkan sebagai munafik. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyombongkan keimanan dan kesalehannya ataupun membual."
Betapa kuat dan teguh iman di dalam dada mereka, baik yang menjadi Muslim pada masa kehidupan Nabi SAW di Makkah maupun pada masa hijrah di Madinah atau juga pembebasan Makkah (Fathu Makkah). Dalam Alquran surah an-Nisa ayat 145 Allah SWT berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka."
Berbeda daripada orang kafir dan musyrik, mereka yang memenuhi sifat-sifat munafik bisa saja menyatakan keislamannya. Mereka bisa memiliki nama-nama yang mulia, tetapi justru hanya bermanis muka di depan orang-orang. Ketika berkumpul dengan sesamanya, mereka ini tidak segan-segan mencerca Allah, Rasul-Nya, dan agama ini.
Sifat orang munafik mendekati orang fasik. Mereka mungkin saja masuk surga, tetapi hal itu setelah dicuci dosanya di neraka. Bahkan dalam satu riwayat, para sahabat yang disebutkan lisan Nabi SAW sebagai penghuni surga masih bersikap hati-hati (wara`).
Generasi setelah sahabat, tabi'in, juga berkomitmen untuk menjauhi sifat-sifat munafik. Misalnya, Ibrahim Tamini (wafat 92 Hijirah) yang bersahabat dengan beberapa sahabat Rasulullah SAW. Dia tidak ingin tergolong munafik, sampai-sampai dia sangat memerhatikan lisan dan perbuatannya sendiri, baik di kala ramai maupun sendiri.
''Setiap aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku, aku takut jika aku digolongkan sebagai seorang munafik, karena ada ucapanku yang berbeda dengan perbuatanku,'' kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar